Dahsyatnya Sifat Qana’ah Orang-orang Luar Biasa Ini
Sifat qana’ah adalah karakter khas para shalafusshalih di berbagai zaman. Dari kisah mereka, banyak hikmah yang bisa kita petik. Berikut beberapa kisah luar biasa mengenai qona’ah
Abu Dzar Al-Ghifari dan 30 Kuda untuk Perang
Abu Dzar Al-Ghifari atau Jundub bin Junadah memilih hidup qana’ah dan menjauhi kemewahan dunia. Sebenarnya ia memiliki kekayaan harta. Sebagai mujahid yang ikut berjihad di zaman Rasulullah saw dan merasakan hidup di zaman kemakmuran kaum Muslimin, Abu Dzar memperoleh jatah ghanimah, fa’i, dan atha’. Dalam riwayat dikatakan, Abu Dzar mendapat atha’ sebesar 4000 dirham setiap bulannya daribaitul mal. Uang itu ia belikan kebutuhan pokok rumah tangga secukupnya selama setahun, sisanya ia infakkan di jalan Allah.
Abu Dzar juga memiliki 30 ekor kuda yang ia rawat dengan baik, sehingga kudanya siap dalam medan peperangan. Setiap kali berperang, iaakan membawa serta 15 ekor kudanya lengkap dengan perbekalannya. Sepulang dari jihad, kuda-kuda itu akan dikandangkan dan diistirahatkan. Jika ada panggilan jihad yang berikutnya, ia membawa 15 ekor kuda lainnya.
Thawus bin Kaisan dan Hadiah Sekantong Uang
Thawus bin Kaisan adalah tabi’in yang lahir di zaman kekhalifahan Utsman bin Affan. Dalam suatu kisah, Hajaj bin Yusuf, penguasa saat itu, mengutus seseorang untuk menyampaikan sebuah hadiah berupa 700 dinar kepada Thawus bin Kaisan. Sang utusan dijanjikan kenaikan jabatan jika hadiah tersebut diterima oleh Thawus.
Ternyata, Thawus menolak. Utusan tersebut terus memaksa hingga akhirnya Thawus melempar kantong uang itu ke lubang angin di rumahnya. Sang utusan kembali menghadap Khalifah, tetapi ia melaporkan bahwa Thawus sudah menerima hadiah itu.
Para ajudan Khalifah yang waktu itu mengantar sang utusan ke rumah Thawus merasa curiga, mereka pun menduga utusan tersebut berbohong. Untuk membuktikannya, Khalifah mengutus utusan kedua ke rumah Thawus. Dan benar saja, di lubang angin di rumah Thawus masih ada sekantong uang yang ia lemparkan. Kantong uang tersebut sudah berdebu, dihinggapi sarang laba-laba, dan isinya tak berkurang sepeser pun.
Hamka, Ulama yang Tak Terbeli
Meski sudah tiada puluhan tahun lalu, siapa yang tak kenal dengan ulama legendaris, wartawan, sekaligus sastrawan ini? Buya Hamka yang bernama lengkap Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah adalah ulama besar yang hidup qana’ah. Para masa Orde Baru, ketika pemerintah hendak membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hamka mendukung majelis ini dalam membantu pemerintah, memberikan nasihat baik diperlukan maupun tidak. Hamka menyatakan kesediaannya menjadi ketua MUI, sambil tegas mengatakan, “Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli!” Hamka konsisten dengan ucapannya. Dalam pengabdian panjang sebagai ketua MUI periode 1975 – 1985, tidak sepeser pun gaji yang ia terima.
Sumber : ummi-online.com
Komentar
Posting Komentar