Sedekah Tak Perlu Menunggu Kaya


Tidak mungkin Allah memberi suatu perintah tanpa terkandung hikmah yang mengikutinya. Perintah berzakat, infaq dan sedekah yang banyak  tertulis dalam Al Quran adalah suatu perintah yang mengandung begitu banyak kebaikan, untuk diri sendiri maupun untuk banyak orang.
Tidak ada ceritanya orang yang terus menerus bersedekah akhirnya jatuh miskin.  Yang ada justru sebaliknya. Mereka yang bersedekah, terus menerus bertambah kaya. Lihatlah sosok  sahabat Abdurrahman bin Auf yang walau sudah menginfaqkan ‘segunung’ hartanya di jalan Allah, ternyata hartanya makin berlimpah dan berlimpah.
Sedekahpun tak harus menunggu kaya. Bahkan dalam keadaan sempit, sedekah jadi lebih utama dilakukan. Tak heran bila ampunan Allah dan  surga yang seluas langit dan bumi diperuntukkan bagi, “Orang- orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit...” (QS Al Imran : 134).
Karena Allah pasti mengganti
Syarat utama dalam memberi adalah keikhlasan. Namun bila kemudian saat memberi terselip keinginan dalam hati agar Allah membalas perbuatan kita dengan sesuatu yang lebih baik, entah kemudahan hidup, lancarnya rezeki dan sebagainya, sebenarnya itu wajar saja. “Puncak keikhlasan manusia memang cuma sampai segitu,” ujar Syafii Antonio, ekonom muslim yang banyak berkiprah dalam perbankan syariah di Indonesia ini. ”Jadi, misalnya, saya ini mau ngasih ke yatim piatu, mudah-mudahan harta bertambah. Nah, seandainya dia berharap begitu masih masuk dalam kategori ikhlas. Yang tidak boleh itu kan ingin dipuji manusia,” lanjut doktor lulusan University of Melbourne ini.
Justru, karena sangat paham pada sifat-sifat manusia inilah Allah memang menjanjikan penggantian yang layak pada semua infaq dan sedekah yang kita keluarkan, seperti dalam firmanNya, “... Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’ : 39).
Kebaikan memberi sesungguhnya akan berpulang lagi kepada si pemberi. Banyak kisah dan riwayat di zaman Rasulullah dan para tabiin yang mengisahkan hal itu. Salah satu kisah yang terdapat dalam kitab Muwaththa’  karya Imam Malik adalah tentang Ummul Mukminim Aisyah ra. Dikisahkan ada orang miskin yang datang ke tempat Aisyah meminta sesuatu darinya.
Hari itu Aisyah tengah berpuasa dan tak punya apapun di rumahnya kecuali sepotong roti. Aisyah lantas memerintahkan pembantunya untuk memberi roti itu kepada si miskin. Pembantunya berkata, “Kalau kita berikan kepadanya, lalu nanti apa yang kita makan untuk berbuka?” Aisyah menjawab, ”Nanti sore kita akan menerima hadiah yang belum pernah kita terima sebelumnya.” Ternyata, sore itu benar-benar ada yang memberi hadiah kepada Aisyah berupa roti. Malah roti ini berisi daging kambing. Aisyah memanggil pembantunya seraya berkata, ”Makanlah. Roti ini lebih baik daripada yang kau berikan kepada orang yang meminta tadi.”
Di lain kisah, Abu Thalhah, sahabat Rasulullah, memiliki sebuah kebun yang bersebelahan dengan kebun orang lain di Madinah. Kebun kecil tetangganya ini dijaga dan dirawat oleh seorang budak hitam yang hanya digaji  dengan 3 potong roti setiap hari. Suatu kali, Abu Thalhah melihat seekor anjing kurus yang tampak kelaparan menghampiri si budak yang hendak makan. Melihat anjing itu, si budak memberikan sepotong roti yang hendak dimakannya. Lalu sepotongnya lagi, juga potongan terakhirnya. Abu Thalhahpun menghampiri si budak dan bertanya dengan apa ia makan hari ini, sementara semua rotinya telah ia berikan pada anjing itu. “Aku bisa berpuasa hari ini. Allah akan menguatkanku,” jawab si budak. Mendengar penjelasannya Abu Thalhah minta ditunjukkan jalan ke rumah pemilik kebun itu. Akhirnya Abu Thalhah, yang terkesan dengan kedermawanan si budak, membeli kebun itu dan langsung menghadiahkannya pada si budak hitam tersebut. Karena menyedekahkan 3 potong rotinya pada seekor anjing, diapun jadi pemilik sebidang kebun.
Kisah-kisah semacam ini terus berulang dari masa ke masa dalam nuansa dan latar yang berbeda, sampai sekarang. Namun intinya tetap sama, sedekah atau infaq yang diberikan nyatanya memang dibalas Allah dengan yang jauh lebih baik.  
Tak hanya kembali dalam bentuk materi, sedekah bisa juga kembali dalam berbagai bentuk kebaikan lainnya, seperti tertolaknya bala dan umur yang panjang. Rasulullah bersabda “Segeralah kamu bersedekah, karena bala bencana itu tidak dapat mendahului sedekah.” (HR. Al Baihaqi).
Ketika satu dua kali Anda selamat dari sebuah kecelakaan atau bencana, barangkali itu adalah balasan atas  sedekah yang Anda lakukan hari itu atau hari-hari sebelumnya.
Sementara pada hadits yang lain Beliau SAW juga bersabda, “Sesungguhnya sedekah seorang muslim itu memanjangkan umur dan mencegah dari mati dalam keadaan buruk dan Allah Taala pula menghapuskan sikap sombong dan membanggakan diri si penderma dengan sebab sedekahnya.” (HR Thabrani)
Selain fadilah di atas, ketenangan dan ketentraman hati juga bisa kita rasakan lantaran sedekah. Dengan membantu orang yang membutuhkan, kita jadi tersadar bahwa begitu banyak orang yang nasibnya kurang baik dibanding nasib kita. Rasa syukur atas keberuntungan nasib kita inilah yang bisa membuat hati lebih ringan, lebih bahagia dan hiduppun jadi lebih tenang.
Di negara maju seperti Amerika, konsep The Power of Giving (Kekuatan Memberi/Sedekah) jadi terapi pengembangan diri yang sangat efektif. Mereka percaya, ketika dengan ikhlas seseorang membantu sesama, secara ‘magis’ bantuan itu akan kembali pada si pemberi dengan seribu kebaikan. Keyakinan seperti ini akan membuat orang jadi lebih terbuka pikirannya, mau berempati pada kesusahan orang lain, yang pada akhirnya akan membuat ia  merasa betapa berharga hidupnya.
Seorang trainer pengembangan diri dan spiritual Kanada, Paul Ghezzi, bahkan mengatakan soal memberi bisa dipelajari dengan sains. Hukum aksi reaksi Newton mengatakan setiap aksi akan menghasilkan reaksi yang sama. Jadi, menurutnya, kalau kita memberi pastilah otomatis kita akan juga diberi. Dengan terus memberi dan memberi, kitapun akan semakin diberi dan diberi hingga menjadi ‘kaya’. Maka, katanya, teruslah memberi, yang disertai cinta dan keyakinan, dan perhatikan keajaiban-keajaiban kecil yang terjadi setelah itu.
Sehat psikologis dan beriman
Menurut DR. H. Abdul Mujib, MA, Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Islam Nasional, Jakarta, orang yang sehat adalah orang yang secara psikologis gampang menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di sinilah peran infaq dan sedekah dalam kaitannya dengan berbagi pada sesama, dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan, mendapat porsi penting.  Jadi hanya orang yang sehat psikologislah yang bisa berinfaq dan bersedekah. Dan kebaikanpun kembali lagi kepadanya dengan  terciptalanya kondisi saling membantu.
“Kalau kita mau hidup bersosialisasi, mau berbagi, seandainya ada maling yang mau masuk rumah kita, misalnya, tapi karena ada tetangga yang sering kita kasih zakat, infaq dan sedekah, saya yakin orang-orang itu akan membela. Tapi kalau orang itu dibenci karena pelitnya, dibiarin kan...,” gambar Abdul Mujib. 
Kepedulian dan semangat berbagi juga menunjukkan kadar keimanan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah, ”Tidaklah beriman, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR al Bazzar)
Jadi orang-orang yang enggan berinfaq dan bersedekah sesungguhnya menggambarkan  jiwa yang sakit dan iman yang lemah. Maka seharusnya bila Anda merasa sehat secara psikologis juga terus menerus membangun iman, infaq dan sedekah adalah amalan rutin yang terus Anda lakukan.
(Asmawati / laporan Rahmi dan Rosita)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Tinggi Tak Menjamin Kesuksesan, Tekad dan Kerja Keras Adalah Kunci Penting Meniti Karir Masa Depan

Inilah 6 Janji Allah Kepada Orang Yang Rajin Bersedekah

Jangan Malu Terlihat Miskin, Malulah Saat Pura-Pura Kaya, Bagikan Jika Setuju!