Perlukah Berbuat Baik pada Orang yang Tak Baik?


Betapa geram Abu Bakar As-Shiddiq kepada Mistoh, kerabat yang ia santuni dan penuhi kebutuhan hidupnya. Pasalnya, Mistoh sangat gencar melancarkan tuduhan kepada putrinya tercinta, Aisyah radiyallaahu ‘anha. 
Ummul Mukminin Aisyah dituduh melakukan perbuatan hina dengan salah seorang sahabat Rasulullah saw. Bahkan saat Allah swt belum menurunkan wahyu akan kebenaran berita tersebut, para penuduh itu begitu yakin akan perbuatan amoral yang dilakukan Aisyah. Bukankah sepantasnya mereka menjadi garda terdepan yang membela keluarga Abu Bakar?
Saat Allah menurunkan wahyu yang menjelaskan akan kesucian Aisyah, Abu Bakar mengeluarkan argumen mengejutkan. Ia tidak akan lagi menyantuni Mistoh beserta keluarganya. Keputusan yang sangat logis dan manusiawi. Mungkin jika peristiwa itu terjadi pada selain Abu Bakar, mereka akan melakukan hal yang lebih jauh dari sekadar memberhentikan santunan.
Namun, betapa cintanya Allah kepada Abu Bakar sekeluarga sehingga tak membiarkannya larut dalam kemarahan. Allah swt tak ingin Abu Bakar menyimpan benci pada sesama.
Allah kemudian menurunkan ayat, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS An-Nuur [24]: 22). 
Sahabat, Abu Bakar bukanlah sembarang sahabat. Ia merupakan orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Apabila fitnah yang menimpa putrinya membuatnya begitu marah, tentu karena fitnah itu terasa begitu menyakitkan. 
Akan tetapi kata maaf ternyata tak mengenal seberapa dalamnya sakit hati yang dirasa. Maaf berlaku untuk semua rasa sakit dalam hati. Karenanya, tak heran bila dalam hadits Rasulullah menyampaikan, “Allah tidak akan menambah pemberian maaf dari seseorang kecuali dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya,” (HR Bukhari dan Muslim). 
Sahabat, perbedaan antara kita dengan orang lain sering kali membuat kita sempit hati, bahkan menyebabkan luka dalam hati. Saat itu terjadi, siapakah yang paling mulia kedudukannya? Tentu saja, orang yang lebih dulu memaafkan yang meraih kemuliaan. Maka, Sahabat, mari kita raih kemuliaan dari Allah swt dengan menjadi orang yang pemaaf.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Tinggi Tak Menjamin Kesuksesan, Tekad dan Kerja Keras Adalah Kunci Penting Meniti Karir Masa Depan

Inilah 6 Janji Allah Kepada Orang Yang Rajin Bersedekah

Jangan Malu Terlihat Miskin, Malulah Saat Pura-Pura Kaya, Bagikan Jika Setuju!