Kisah Inspiratif : Saat Kesabaran Berbuah Keajaiban


Keajaiban dari Allah dan pertolonganNya senantiasa ada untuk orang-orang yang mau bersabar. Simaklah kisah sejati berikut ini, yang pernah dimuat majalah Ummi bulan April tahun 2005 silam. In syaa Allah akan memberi kita inspirasi mengenai kekuatan kesabaran.
Tak terbayang di benak Dyan hidupnya akan seperti ini. Namun, justru saat-saat seperti ini, ia tegar karena limpahan cinta orang-orang terkasih.
Dyan Kunti Hapsari (23) adalah perempuan biasa. Tak banyak yang diharapkannya kecuali hidup bahagia. Tapi ternyata, cobaan hidup menerpanya. Memang tak mudah untuk terus berdiri menahan badai kehidupan. Namun, bagi Dyan inilah ujian hidupnya. Ditemui di ruang perawatan di RS Kanker Dharmais, Jakarta, Dyan mengisahkan hidupnya.
Benjolan sebesar telur puyuh 
Awalnya Dyan yang bekerja di sebuah perusahaan kayu dan mebel di kota Demak, Jawa Tengah, ini tak menduga bahwa penyakit yang dialaminya adalah tumor. Suatu hari di tahun 2002 tiba-tiba ia sakit dan jatuh pingsan. Dyan menganggap ia hanya masuk angin biasa saja. Ketika berobat, dokter yang memeriksa juga melihat hal yang tak wajar pada payudaranya. Benar saja, ada benjolan di payudara sebelah kanan Dyan yang sudah sebesar telur puyuh dan harus segera dioperasi.
 “Waktu itu dokter bilang biaya operasinya 2 juta rupiah. Karena masalah ekonomi, sulit banget ya, sampai akhirnya membesar,” cerita Dyan, anak kedua dari 3 bersaudara ini. Orangtuanya yang hidup sangat sederhanapun tak bisa banyak membantu. Begitupun dengan kakak laki-lakinya yang sudah berkeluarga.
Dyan dan keluarganya berupaya mengumpulkan uang untuk operasi. Namun setiap kali ia punya uang, yang jumlahnya selalu tak banyak, ia belikan jamu atau berobat dengan cara tusuk jarum. Karena dana operasi tak jua terkumpul, operasipun tertunda-tunda. Sementara tumor di payudaranya kian membesar. Sempat pula Dyan menunjungi rumah sakit di Purwodadi dan Semarang, jawabnya tetap sama bahwa kesembuhan Dyan cuma dengan cara operasi.
Selama menanti masa yang tak pasti itu, Dyan berusaha menjalankan aktivitas sehari-hari semampunya. Bahkan ia mencari cara sendiri untuk mengangkat payudaranya yang terus membesar.  “Saya harus pakai kain untuk gendong payudara saya yang beratnya 3 kilo lebih. Setiap hari selama dua tahun, selalu pakai kain sampai berbekas di leher,” cerita Dyan sambil menunjukkan bekas kain di lehernya.
Cinta sejati yang cepat pergi
Di tengah penderitaan karena penyakitnya, seorang pemuda melamarnya. Dia adalah Kasmadi, biasa dipanggil Adit, yang merupakan rekan kerjanya walau beda divisi. “Sebelum jadi suami saya, dia sudah tahu saya sakit seperti ini. Entah kenapa dia tetap mau nikah sama saya, nggak membatalkan niatnya. Padahal di Demak kan (perempuan-red) nggak cuma saya, tapi mungkin ini sudah jodoh,” ucap Dyan dengan nada syukur.
Setelah menikah pada 11 September 2004, suaminya menyarankan agar Dyan berhenti bekerja. Apalagi menjelang pernikahan Dyan sempat dirawat di Salatiga. “Kalau kamu kecapekan, nanti penyakitmu makin parah,” Dyan menirukan ucapan suaminya.
Bersama suaminya, Dyan berusaha untuk berobat ke dokter. Tak bosan-bosan Adit meneguhkan semangat Dyan. Hingga satu saat dokter memvonis bahwa penyakit tumor payudaranya terhitung ganas dan sudah pada stadium akhir. Pada saat-saat kritis itulah, Dyan kembali terpuruk. Sempat ia meminta suaminya untuk mencari perempuan lain, dengan alasan dia tidak sanggup lagi bertahan.
“Suami saya hanya bilang dokter cuma perantara, kuasa tertinggi ada di tangan Allah. Yang penting kamu tetap berdoa. Kalau di dada ini kamu tanamkan sembuh, insya Allah akan sembuh,” kenang Dyan pada kata-kata bijak suaminya. Menurut Dyan suaminya memang mempunyai pemahaman agama yang bagus. Dia selalu mengingatkan Dyan untuk taat beribadah dan selalu sholat malam. Dyan menurutinya dengan ikhlas. Sejak saat itu semangat hidup Dyan  tumbuh lebih tinggi. Apalagi benih cinta mereka berdua mulai merekah di rahim Dyan.
Allah punya kehendak lain, kebahagiaan bersama suami tercinta hanya dirasakanya selama 5 bulan. Sewaktu Dyan hamil 4 bulan, suaminya meninggal karena kecelakaan. Saat itu Adit berangkat kerja naik motor seperti biasa. Tak ada firasat apa-apa di benak Dyan. Selang satu jam, ada kabar suaminya menjadi korban tabrakan beruntun.
Sedih hati Dyan mengingat bayi yang dia lahirkan kelak tak bisa melihat wajah ayahnya. Rasa ingin sembuh yang tertanam kuat di batinnya mendadak lenyap. Namun, karena dukungan seluruh keluarga,  Dyan kuat dan punya semangat hidup lagi. Apalagi adik laki-lakinya, yang masih kelas dua SMU, rela putus sekolah dan bekerja mencari uang agar kakaknya bisa operasi.

“Padahal dia itu pintar. Prestasinya bagus,” kata Dyan penuh haru.Tak terasa ia menyeka butiran air mata yang luruh di pipinya untuk sekedar menabahkan hati dari cobaan hidup yang harus ia jalani. Dyan tak ingin mengecewakan keluarganya, curahan cinta merekalah yang menguatkan tekad Dyan untuk terus hidup dan sembuh.
Melahirkan dan dioperasi
Banyak yang peduli padanya, itulah yang membuat Dyan bertahan hidup. Kepedulian itulah yang akhirnya mengantarkan Dyan ke BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia). Salah seorang kerabatnya di Tangerang mendapatkan brosur tentang BSMI lalu mengabarkannya pada Dyan. Dyan dengan senang hati segera mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan.
Menariknya, pada saat itulah keluarganya baru tahu seberapa besar tumor di payudaranya. Saat itu kakaknya yang memotret keadaan tumor Dyan untuk keperluan data BSMI, kaget karena tak menyangka tumornya sebesar itu. Kakaknya tak kuasa menahan tangis dan hampir pingsan menyadari betapa menderita adiknya selama ini. Selama ini, sepanjang hari Dyan memang berdaster lebar, terutama karena memang sedang hamil. Dengan pakaian itu tumornya jadi tersamar.
Dengan data-data itu, tak lama kemudian pihak BSMI mengadakan kontak. Segera setelah melahirkan, Dyan diminta segera ke Jakarta untuk menjalani operasi.
Tak terbilang betapa besar rasa syukur Dyan, apalagi bayi dalam kandungannya sehat. Sempat ketika kandungannya berusia 7-8 bulan, berat si bayi hanya 1,7 kilo saja. Dokter menyarankan untuk caesar.
Namun dengan adanya kesempatan untuk operasi, Dyan tak ingin persalinan caesar. “Kalau saya melahirkan caesar, otomatis penyembuhan kanker ini juga tertunda 3 sampai 4 bulan (untuk penyembuhan-red),” jelas Dyan. ”Beda kalau lahir normal, kan sudah langsung bisa ditangani. Sejak saat itu saya makan banyak. Alhamdulillah, berat bayi saya naik jadi 2,7 kilo.”
Sepanjang masa kehamilan, tumornya semakin besar dan nyaris mencapai perut. Ia juga sering batuk-batuk. Dokter memperkirakan tumornya sudah menekan paru-parunya dan kemungkinan nafasnya tak kuat untuk mendorong persalinan normal. Maka dokterpun mempersiapkan persalinan caesar untuknya.
Pada tanggal 8 Juni 2005, bayinya lahir di RSU Kalijaga, Demak. Alhamdulillah, Allah memberi kemudahan padanya, sesaat sebelum dokter datang ke kamar persalinan, anaknya yang diberi nama Dinda Sekar Aditya, malah sudah lahir secara normal!
Dua belas hari kemudian Dyan bersama ayah dan ibunya berangkat ke Jakarta. Tadinya ia ingin membawa serta bayinya, tetapi para tetangga mencegahnya. Mereka berjanji akan merawat bayinya selama masa pengobatannya di Jakarta
Lagi-lagi, Dyan mendapat sokongan moril dari orang-orang sekitarnya. Sampai-sampai di pengajian kampung pun, namanya disebut-sebut oleh para tetangganya agar diberi kesembuhan oleh Allah SWT. Kini dia tahu banyak sekali orang yang mengharapkan dan mendoakan kesembuhannya.
Sesampainya di Jakarta, Dyan kembali menjalani pemeriksaan di RS Dharmais. Diagnosa dokter di sini agak berbeda. Tumor yang selama ini diperkirakan ganas, ternyata tumor jinak.
Menatap masa depan
Menuju ruang operasi Dyan berdzikir tak henti. Kalau memang operasinya gagal, Dyan sudah sangat siap. Ternyata sebelum masuk Dyan sudah dibius. Operasi pengangkatan tumor pun dilaksanakan. Ketika sadar, Dyan bertanya mengapa dokter yang akan mengoperasinya belum juga datang. Perawatnya cuma bilang bahwa dirinya sudah dioperasi. Hanya takbir yang menjadi luapan rasa syukur Dyan yang kembali tak sadarkan diri.
”Seperti mimpi. Kalau saya operasi di sini dengan biaya sendiri pasti kan besar sekali, saya dapat dari mana? Alhamdulillah dikasih cepat sembuhnya. Pokoknya senang sekali. Apalagi, dikasih kabar sebentar lagi saya bisa pulang,” ungkap Dyan berseri-seri.
Setelah sembuh ia bertekad untuk membesarkan dan mendidik anaknya dengan pendidikan agama yang kuat. Ia juga ingin kembali bekerja agar adiknya kembali bisa bersekolah. Sampai saat ini, adiknya bekerja sebagai kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan keponakannya yang yatim itu. “Ya Allah, adik saya seharusnya masih pakai seragam, tapi malah sudah kerja kayak gitu,” ujar Dyan penuh haru.
“Tapi selama 5 tahun ini saya tidak boleh kerja yang berat-berat. Soalnya jahitannya (bekas operasi-red) pas di dekat lengan, sampai ketiak sebelah kanan,” ujar Dyan yang sudah sangat kangen pada anaknya.
Dyan bersyukur Allah masih memberi kekuatan iman padanya. Dengan kekuatan itu, ia ikhlas kehilangan payudara sebelah kanan. Baginya ini adalah cobaan yang membesarkan jiwanya, seperti juga saat ia kehilangan ayah si jabang bayi. Dyan ingin tetap optimis menatap masa depan bersama sang buah hatinya tercinta, Dinda.

Sumber : Majalah Ummi April 2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Tinggi Tak Menjamin Kesuksesan, Tekad dan Kerja Keras Adalah Kunci Penting Meniti Karir Masa Depan

Inilah 6 Janji Allah Kepada Orang Yang Rajin Bersedekah

Jangan Malu Terlihat Miskin, Malulah Saat Pura-Pura Kaya, Bagikan Jika Setuju!